CANDI NGETOS: SEJARAH DAN KEUNIKAN MAKAM RAJA TERSOHOR MAJAPAHIT
Berdasarkan
arca yang ditemukan di candi ini, Candi Ngetos didirikan pada abad ke-15 pada
zaman kerajaan Majapahit yaitu berupa arca Syiwa dan arca Wisnu dapat dikatakan
bahwa Candi Ngetos bersifat Siwa–Wisnu. Candi Ngetos, yang sekarang tinggal
bangunan induknya yang sudah rusak itu, dibangun atas prakarsa raja Hayam
Wuruk. Tujuan pembuatan candi ini sebagai tempat penyimpanan abu jenasahnya
jika kelak wafat. Hayam Wuruk ingin dimakamkan di situ karena daerah Ngetos
masih termasuk wilayah Majapahit yang
menghadap Gunung Wilis,
yang seakan-akan disamakan dengan Gunung Mahameru. Pembuatannya diserahkan
pada pamannya raja Ngatas
Angin, yaitu Raden
Condromowo, yang kemudian bergelar Raden Ngabei
Selopurwotoo. Raja ini mempunyai seorang patih bernama Raden Bagus
Condrogeni, yang pusat kepatihannya terletak disebelah barat Ngatas
Angin, kira-kira berjarak 15 km.
Diceritakan, bahwa Raden
Ngabei Selopurwoto mempunyai keponakan yang bernama Hayam Wuruk yang menjadi
Raja di Majapahit. Hayam Wuruk semasa hidup sering
mengunjungi pamannya dan juga Candi Lor. Wasiatnya kemudian, nanti
ketika Hayam Wuruk wafat, jenasahnya dibakar dan abunya disimpan di Candi
Ngetos. Namun bukan pada candi yang sekarang ini, melainkan pada candi yang
sekarang sudah tidak ada lagi.
Konon ceritanya pula, di
Ngetos dulu terdapat dua buah candi yang bentuknya sama (kembar), sehingga
mereka namakan Candi Tajum.
Hanya bedanya, yang satu lebih besar dibanding lainnya. Krom juga
berpendapat, bahwa disekitar candi Ngetos ini terdapat sebuah
Paramasoeklapoera, tempat pemakaman Raja Hayam Wuruk. Mengenai kata Tajum dapat
disamakan dengan Tajung, sebab huruf “ng” dapat berubah menjadi huruf “m”
dengan tanpa berubah artinya. Misalnya Singha menjadi Simha dan akhirnya Sima.
Hal ini sesuai dengan pendapat Soekmono yang menyatakan bahwa setelah Hayam
Wuruk meninggal dunia, maka makamnya diletakkan di Tajung, daerah Berbek,
Kediri.
Selanjutnya diceritakan,
bahwa Raja Ngatas Angin R. Ngabei Selupurwoto mempunyai saudara di Kerajaan
Bantar Angin Lodoyo (Blitar) bernama Prabu Klono Djatikusumo, yang kelas
digantikan oleh Klono Joyoko. Raja-raja ini ditugaskan oleh Hayam Wuruk untuk
membuat kompleks percandian. Raden Ngabai Selopurwoto di kompleks Ngatas Angin
menugaskan Empu Sakti
Supo (Empu Supo) untuk membuat kompleks percandian di Ngetos.
Karena kesaktiannya maka dalam waktu yang tidak terlalu lama tugas tersebut
dapat diselesaikan sesuai petunjuk.
RELIEF CANDI
NGETOS
Relief pada Candi Ngetos
terdapat empat buah, namun sekarang hanya tinggal satu, yang tiga telah hancur. Pigura-pigura
pada saubasemennya (alasnya)
juga sudah tidak ada. Di bagian atas dan bawah pigura dibatasi oleh
loteng-loteng, terbagi dalam jendela-jendela kecil berhiaskan belah ketupat, tepinya tidak rata, atau
menyerupai bentuk banji.
Hal ini berbeda dengan bangunan bawahnya yang tidak ada piguranya, sedangkan
tepi bawahnya dihiasi dengan motif kelompok buah dan ornamen daun.
Di sebelah kanan dan kiri
candi terdapat dua relung kecil yang di
atasnya terdapat ornamen yang mengingatkan pada belalai
makara. Namun jika diperhatikan lebih saksama, ternyata suatu bentuk spiral besar
yang diperindah. Dindingnya terlihat kosong, tidak terdapat relief yang
penting, hanya di atasnya terdapat motif daun yang melengkung ke bawah dan horisaontal,
melingkari tubuh candi bagian atas.
Pada bagian tubuhnya di
sebelah timur, selatan, dan utara terdapat relung dengan tinggi 2 m dan lebar
0,65 m dalam keadaan kosong. Di sisi barat tubuh candi terdapat dua relung yang
ukurannya lebih kecil daripada ketiga relung itu. Di atas relung-relung
tersebut terdapat hiasan kala dan di sisi barat di atas kedua relung yang
mengapit pintu masuk ada hiasan yang merupakan kepanjangan dari rambut kepala
kala yang berada diatas pintu masuk. Yang menarik, adalah motif
kalanya yang amat besar, yaitu berukuran tinggi 2 x 1,8 meter. Kala tersebut
masih utuh terletak disebelah selatan. Wajahnya menakutkan, dan ini
menggambarkan bahwa kala tersebut mempunyi kewibawaan yang besar dan agaknya
dipakai sebagai penolak bahaya. Motif kala semacam ini didapati hampir pada
seluruh percandian di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali. Motif ini sebenarnya
berasal dari India, kemudian masuk Indonesia pada Zaman Hindu. Umumnya, di
Indonesia motif semacam ini terdapat pada pintu-pintu muka suatu percandian.
Komentar
Posting Komentar